Khaerudin | Nasru Alam Aziz | Jumat,
6 Januari 2012 | 22:03 WIB
JAKARTA,
KOMPAS.com -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal
11 Huruf I dan Pasal 85 Huruf I Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu dinilai sudah logis. Kedua pasal tersebut memberi peluang
bagi anggota partai politik menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
Badan Pengawas Pemilu asalkan mengundurkan diri ketika mendaftar.
Dalam putusannya, MK menyatakan pasal 11 huruf i
dan 85 huruf I bertentangan dengan Pasal 22 E UUD 1945
yang menyebutkan "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri".
Selain itu, MK juga memutuskan keanggotaan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) hanya terdiri atas unsur KPU, Bawaslu,
dan masyarakat. Sedangkan unsur pemerintah dan utusan partai politik di DPR
tidak lagi berada di DKPP. Dengan putusan MK ini, politikus yang hendak menjadi
anggota KPU setidaknya harus tak aktif lagi di partai politik selama lima
tahun.
Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah
Din Syamsuddin, keputusan MK tersebut sudah logis karena penyelenggara pemilu
memang haruslah komisi yang independen. "Saya kira itu yang lebih logis,
penyelengara pemilu adalah komisi independen, tidak pemerintah, tidak juga
peserta pemilu, yakni partai politik, tapi unsur masyarakat yang dipilih lewat
fit and proper test DPR," kata Din, Jumat (6/1/2012) di Jakarta.
Menurut Din, saat ini sebenarnya komposisi
penyelenggara pemilu sudah bagus. Akan tetapi, dia mengingatkan, anggota KPU
yang diseleksi nanti haruslah memiliki integritas dan tak tergiur jabatan di
partai politik.
"Sekarang posisinya sudah bagus, kecuali
yang diseleksi haruslah orang yang punya integritas sehingga tak mudah
dipengaruhi surat-surat palsu dan sebagainya. Tetapi juga profesionalitasnya
tinggi, serta punya pengalaman dan pengetahuan teknis penyelenggaraan pemilu di
banyak negara," tutur Din.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar